MALANG – Ketegangan menyelimuti kasus pemalsuan merek Pioneer CNC Indonesia yang kini memasuki babak baru. Syaiful Adhim (34), tersangka utama dalam perkara ini, berhasil ditangkap oleh Satreskrim Polres Malang di sebuah gudang ilegal yang digunakan sebagai tempat produksi mesin CNC palsu. Pria yang sebelumnya sempat dua kali mangkir dari panggilan penyidik ini telah resmi ditahan dan akan segera diadili di persidangan.
Namun penangkapan Syaiful Adhim hanyalah permulaan.
Freddy Nasution (35), pemilik sah merek Pioneer CNC Indonesia, menyatakan tidak akan berhenti hanya pada aktor utama. Semua pihak yang terlibat—karyawan, teknisi, operator produksi, marketing, hingga pihak distribusi—akan dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Saya tahu siapa saja yang terlibat. Nama-nama mereka sudah kami kantongi. Jika mereka tidak segera meminta maaf secara terbuka dan justru masih nekat mengulangi perbuatannya, maka saya pastikan mereka akan saya seret ke balik jeruji besi,” tegas Freddy dengan sorot mata tajam.
Freddy memaparkan, perjalanan usahanya dimulai dari kerja sama dengan Syaiful Adhim. Namun di tengah jalan, ia justru disingkirkan secara sepihak, dan hak-haknya atas merek serta usaha tersebut dirampas tanpa dasar hukum. Freddy kemudian membangun kembali usahanya dari nol, dan pada 1 Desember 2023, ia secara resmi mendapatkan sertifikat hak merek “Pioneer CNC Indonesia” dari Kementerian Hukum dan HAM.
Belum sempat bernapas lega, Freddy justru kembali dikejutkan oleh temuan bahwa merek yang telah dilindungi secara hukum itu masih digunakan secara ilegal oleh Syaiful Adhim. Produk-produk palsu tersebut dipasarkan secara agresif di media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook, dan diproduksi secara massal di gudang ilegal yang kini telah digerebek.
Atas kejadian itu, Freddy melapor ke Polres Malang yang menindaklanjutinya dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/300/VIII/2024/SPKT/Polres Malang, tanggal 24 Agustus 2024. Laporan tersebut menjerat tersangka dengan Pasal 100 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman pidana hingga 5 tahun penjara dan/atau denda Rp 2 miliar.
Namun lebih jauh dari itu, kuasa hukum Freddy, Didik Lestariyono, S.H., M.H., menegaskan bahwa perkara ini tidak hanya menyasar pelaku utama.
“Siapa pun yang turut serta dalam proses produksi, distribusi, atau promosi produk palsu ini dapat dikenakan Pasal 55 KUHP. Dalam hukum, turut serta adalah kejahatan. Mereka akan dikenakan hukuman yang sama beratnya dengan pelaku utama,” ujar Didik dengan nada penuh tekanan.
Freddy sendiri memberikan satu-satunya jalan keluar bagi para karyawan yang ikut terlibat: mengakui kesalahan, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, dan menyatakan komitmen untuk tidak mengulangi perbuatannya.
“Kalau tidak, saya pastikan mereka akan menghadapi proses pidana. Jangan salahkan saya jika mereka harus tidur di balik jeruji,” ujarnya dingin.
Baginya, persoalan ini bukan sekadar kerugian bisnis. Ini adalah soal prinsip, kehormatan, dan keadilan. Ia tidak hanya menuntut ganti rugi, tetapi juga efek jera agar tidak ada lagi pengusaha yang haknya diinjak-injak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
“Ini bukan ancaman. Ini janji. Dan saya akan menepatinya,” tutup Freddy.