Home / Headline News / Remisi 17 Agustus: Hak Napi atau Kontroversi Keadilan?

Remisi 17 Agustus: Hak Napi atau Kontroversi Keadilan?

Momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia kembali menjadi ajang pemberian remisi atau pengurangan masa pidana bagi para narapidana di seluruh Indonesia. Tahun ini, sejumlah nama yang kasusnya sempat menjadi perhatian publik, seperti Gregorius Ronald Tannur, Mario Dandy Satriyo, John Kei, hingga Setya Novanto termasuk dalam daftar penerima remisi.

Pemberian remisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dasar hukum tersebut menegaskan bahwa setiap narapidana yang berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menjalani masa pidana tertentu berhak atas pengurangan hukuman, tanpa terkecuali.

Ada beberapa jenis remisi, salah satunya remisi umum, yang rutin diberikan setiap 17 Agustus. Besarannya bervariasi, mulai dari satu bulan hingga enam bulan, tergantung lama masa pidana yang telah dijalani. Selain itu, terdapat pula remisi khusus untuk hari besar keagamaan dan remisi dasawarsa yang diberikan setiap sepuluh tahun kemerdekaan Indonesia, dengan pengurangan maksimal tiga bulan.

Dalam kasus Ronald Tannur, terpidana penganiayaan yang menyebabkan kematian DSA, ia mendapat total remisi empat bulan, satu bulan remisi umum dan tiga bulan remisi dasawarsa. Mario Dandy Satriyo, yang divonis 12 tahun karena kasus penganiayaan terhadap DO, memperoleh remisi umum, demikian pula John Kei yang divonis 16 tahun kasus pembunuhan berencana, serta Setya Novanto, terpidana kasus korupsi e-KTP.

Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menegaskan, pemberian remisi bukan bentuk penghapusan hukuman, melainkan insentif hukum untuk mendorong perilaku baik warga binaan selama menjalani pidana. “Remisi adalah hak setiap narapidana, sepanjang memenuhi syarat administratif dan substantif,” jelas Rika Aprianti, Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan.

Meski demikian, kebijakan ini kerap menuai polemik, terutama ketika menyangkut pelaku kejahatan yang merugikan publik atau kasus besar yang menyita perhatian nasional. Keluarga korban maupun sebagian masyarakat kerap menilai remisi berpotensi mengurangi rasa keadilan. Di sisi lain, pemerintah berpendapat bahwa remisi merupakan instrumen penting dalam sistem pemasyarakatan untuk mengurangi kelebihan kapasitas lapas sekaligus mendorong reintegrasi sosial narapidana.

Pada akhirnya, perdebatan tentang remisi mencerminkan ketegangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan publik. Secara normatif, remisi adalah hak konstitusional narapidana, namun secara moral, masyarakat menuntut agar remisi tidak diberikan secara serampangan, terutama bagi pelaku tindak pidana berat. Transparansi, konsistensi, dan pengawasan menjadi kunci agar kebijakan ini tetap dipandang adil sekaligus mendidik.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *