JAKARTA — Dalam konflik yang semakin memanas saat unjuk rasa di depan DPR, sebuah mobil taktis Barracuda Brimob menabrak dan melindas seorang pengemudi ojek online di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Kamis sore (28/8/2025). Korban, yang diketahui bernama Afan Kurniawan, tewas di tempat. Insiden ini terekam dalam sejumlah video amatir yang viral di media sosial dan langsung memicu gelombang kecaman publik terhadap aparat kepolisian.
Menurut keterangan Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional, Afan diduga terpeleset saat menyeberang di tengah kepanikan akibat kericuhan demo. Mobil Barracuda yang melaju justru tidak berhenti hingga menindih tubuh korban dengan ban belakang. “Dia ingin menyeberang, tetapi terpeleset. Mobil tetap melaju dan melindasnya,” ungkap Andi Kristiyanto.
Tak hanya merenggut nyawa Afan, lima orang lain dilaporkan mengalami luka-luka. Jenazah korban kini berada di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, untuk penanganan lebih lanjut.
Menanggapi kejadian tersebut, Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Asep Edi Suheri, berjanji akan menindak tegas anggota Brimob yang terlibat. “Insiden ini tidak bisa ditoleransi. Propam telah menangani dan kami akan transparan dalam prosesnya,” ucap Asep.
Namun, pernyataan polisi dinilai belum cukup. Fakta bahwa terdapat tujuh anggota Brimob dalam Barracuda saat kejadian menimbulkan pertanyaan serius, mengapa tak ada upaya menghindar atau pengereman darurat? Publik menilai ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan kegagalan prosedural yang berakar pada pola pengendalian massa yang brutal dan serampangan.
Sejumlah aktivis HAM menegaskan, tragedi ini menyingkap problem sistemik dalam kultur aparat. “Mobil taktis seharusnya melindungi, bukan merenggut nyawa. Ini bukan hanya soal kelalaian individu, tetapi cermin dari arogansi kekuasaan aparat di jalanan,” tegas salah satu pengamat dari KontraS.
Kecaman juga membanjiri jagat maya. Tagar #AfanKurniawan dan #PolisiPembunuhRakyat menduduki jajaran teratas trending di X (Twitter), dengan ribuan warganet menuntut pertanggungjawaban hukum, bukan sekadar sanksi etik.
Tragedi ini menambah daftar panjang kasus kekerasan aparat dalam mengawal aksi demonstrasi di Indonesia. Pertanyaan besar kini bergulir, apakah nyawa rakyat begitu murah di mata negara hingga aparat bersenjata bisa berlindung di balik alasan prosedural setiap kali ada korban jiwa?